Standing on the shoulders of giants

Jan 28, 2017

RPOJK Recovery Plan Bagi Bank Sistemik

Selain angka bailout yang sangat fantastis yaitu sebesar Rp6,7 Triliun, hal yang begitu menyita perhatian masyarakat adalah Kontroversi "Predikat" Bank Century sebagai "Bank Gagal Berdampak Sistemik" oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) berdasarkan Surat Keputusannya No.04/KSSK.03/2008, tertanggal 21 Nopember 2008. Kontroversi mengenai dampak sistemik bank Century kala itu, manjadi topik yang sangat mengundang pro dan kontra, bahkan keputusan KSSK tentang penetapan Bank Century sebagai Bank Gagal Berdampak Sistemik digugat oleh beberapa pakar ekonomi dan hukum di Indonesia. Kata yang menarik dan akar dari kontroversi tersebut adalah "Sistemik", apa yang dimaksud dengan risiko sistemik? bagaimana bank dapat dikatakan berdapmpak sistemik? apa ukurannya? apa kriterianya? apa indikatornya? Tentunya hingga kasus Century mencuat, masih sulit rasanya untuk mendefinisikan risiko sistemik karena minimnya referensi, riset, penelitian terhadap risiko sistemik. 


Apakah anda setuju bahwa pondasi utama bisnis bank adalah kepercayaan (trust)?. Sebagai lembaga keuangan yang melakukan fungsi intermediasi dana, maka bank sangat rentan terhadap isu-isu, gejolak, yang dapat menjadi pemicu runtuhnya kepercayaan deposan terhadap institusi (Perbankan) yang sangat berkontribusi dalam perekonomian di Republik ini. Kita kembali sedikit lagi kepada Bank Century, jadi sesungguhnya penyelematan bank Century (bailout) dilakukan agar mencegah terjadinya Rush atau biasa kita kenal dengan istilah Bank Run. 

Lalu apakah itu bank Run? 
Coba kita ambil analogi sederhanya tentang bank run. Ijinkan saya bertanya kepada anda, berpakah jumlah toilet (rest room) yang ada di kantor anda setiap lantainya? apa yang terjadi jika seluruh orang yang berada dilantai tersebut ingin menggunakan toilet? tentu akan kacau bukan? Sudah pasti, karena toilet tidak dirancang memiliki kapasitas untuk dapat menampung orang satu lantai, akan tetapi cukuplah secara random mungkin satu atau dua orang. Teori yang sama berlaku bagi kemampuan likuiditas bank. Kegiatan intermediasi dana sebagai kegiatan utama usaha bank seperti amanat dalam UU Perbankan, mewajibkan bank harus seoptimal mungkin menyalurkan dana yang dihimpun melalui pinjaman yang diberikan. Padahal jelas disini, setiap penabung dapat menarik dananya sewaktu-waktu, sementara dana tersebut telah disalurkan oleh bank kepada aktiva produktif yang belum tentu likuid sifatnya. Sama persis seperti toilet tadi, bank tidak memiliki kapasitas likuiditas untuk menyanggupi penarikan dana secara bersamaan dan serentak oleh para penabung/deposan. Lalu hal apa yang mendorong deposan secara serentak menarik dananya secara bersamaan? Tentunya kita kembali kepada pondisi usaha bank yaitu kepercayaan, apabila kepercayaan sudah rapuh maka bank seperti bangunan yang tidak berpondasi sehingga mudah ambruk. Jika suatu bank ambruk? apa yang akan terjadi berikutnya? Kita pasti pernah mendengar istilah domino effect dalam industri perbankan, istilah tersebut menggambarkan kegagalan suatu bank dapat menular kepada bank-bank atau lembaga keuangan non bank lain dalam suatu industri / megara. 

Saling berkaitan dengan bank run, risiko sistemik digambarkan sebagai risiko terjadinya kehancuran atau runtuhnya sistem keuangan atau pasar keuangan sehingga fungsi utama sistem keuangan, seperti penyediaan likuiditas pengelolaan risiko, dan pengalokasian sumber daya tidak berjalan sebagaimana mestinya dan umumnya risiko sistemik terjadi dengan diawali gagalnya suatu bank. (Wijoyo: 2015). Lalu kembali kepada pertanyaan utamanya "Bagaimana..... bagaimana sebuah bank dapat dikatakan berdampak sistemik....??". 

Waktu berjalan begitu cepat, 8 tahun sudah berlalu, tentu pengalaman dan waktu selama itu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh semua pemangku kepentingan, khususnya oleh Regulator. Pada tahun 2016, telah diterbitkan Undang Undang No.9 tahun 2016 Tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK) (sebagai informasi, UU PPKSK sebelumnya dikenal dengan RUU Jaring Pengaman Sistem Keuangan/JPSK, di penghujung tahun 2008 Perpu No 4 tahun 2008 tentang JPSK ditolak oleh DPR untuk menjadi UU). Dalam UU PPKSK diatur jelas mengenai  Bank berdampak Sistemik antara lain menggunakan dimensi: Ukuran Aset, modal, kewajiban, luas jaringan atau komlpleksitas transaksi atas jasa perbankan; serta keterkaitan sektor keuangan lain yang dapat mengakibatkan gagalnya sebagian atau keseluruhan bank lain atau sektor jasa keuangan baik secara operasional maupun finansial apabila bank tersebut (bank sistemik) mengalami gangguan atau gagal. Bank sistemik (baik dalam kondisi normal atau krisis) ditetapkan oleh OJK melalui kordinasi dengan BI yang datanya dimutahirkan sekali dalam enam bulan. Perlu diingat juga bahwa pada tahun 2015 OJK telah mengeluarkan POJK nO.46/POJK.03/2015 tentang Penetapan Systemically Important Bank dan Capital Surcharge. Jadi sudah jelas, bagaimana suatu bank dapat dikatakan sebagai bank sistemik. Biar OJK, BI dengan KSSK yang menilai suatu bank dapat dikategorikan sebagai bank sistemik karena memang lembaga tersebutlah ahlinya. Beda pendapat? ya boleh-boleh saja, namun UU PPKSK setidaknya memberikan kepastian hukum terkait penetapan bank sistemik. 

Selain menjawab mengenai bank sistemik, melalui UU PPKSK kita diperkenalkan suatu konsep baru tentang penyelamatan bank gagal yang semula adalah "bail-out" menjadi "bail-in". Sudah selayaknya upaya dan biaya penyelematan bank tidak serta merta dibebankan kepada pembayar pajak (tax payer), akan tetapi lebih kepada sumber daya bank yang bersangkutan (pemegang saham ataupun kreditur). Menanggapi hal tersebut, OJK saat ini sedang menggodok POJK tentang Rencana Aksi (Recovery Plan) bagi Bank Sistemik yang saat ini sedang dalam tahap permintaan tanggapan kepada masyarakat. Dalam RPOJK tersebut diatur 3 kewajiban Bank Sistemik: 
  1. Bank wajib menyusun pedoman rencana pemulihan (ketika mengalami permasalahan modal, lukuiditas dan kualitas aktiva produktif).
  2. Bank harus melakukan evaluasi atas rencana aksi yang sudah dibuat. Bank juga wajib membuat stress testing yang paling sedikit sekali dalam setahun (Stress Testing berbeda dengan simulasi, Stress Testing lebih kepada tes yang bersifat "extreme" namun dianggap/diperkirakan bisa saja terjadi sewaktu-waktu  dimasa yang akan datang - "extreme but plausible").
  3. OJK berhak meninjau Rencana Aksi yang telah dibuat oleh bank apakah sudah mencukupi dan sesuai ketentuann. Bila belum, OJK meminta bank melakukan perbaikan terhadap rencana aksi yang telah dibuat.
So, semoga kedepannya industri perbankan kita menjadi semakin kuat, stabil dan bertumbuh secara berkelanjutan. Sementara, bagi anda yang ingin ikut berpartisipasi dalam memberikan tanggapan atas RPOJK tersebut diatas dapat menyampaikannya kepada OJK.

Referensi:

UU PPKSK, Untuk download : Klik disini
Draft RPOJK Rencana Aksi (recovery plan) bank sistemik, untuk download : Klik disini
POJK nO.46/POJK.03/2015 tentang Penetapan Systemically Important Bank dan Capital Surcharge, untuk download: Klik disini
Buku "Referensi Risiko Sistemik Perbankan", Penulis Nugroho Agung Wijoyo, 2015.
Share:

My Linkedin

Anda Pengunjung Ke

Popular Posts

Search This Blog