Standing on the shoulders of giants

Dec 27, 2017

Latar Belakang Penerapan Manajemen Risiko


Mengapa Penerapan Manajemen Risiko menjadi sesuatu yang sangat diperlukan dalam aktivitas perbankan? Jawabannya bukan hanya sekedar suatu kewajiban yang dipersyaratkan oleh regulator, namun karena adanya kebutuhan dari bank untuk mengelola risiko agar tujuan bank dapat tercapai. Dengan penerapan manajemen risiko, bank memiliki acuan dalam mengidentifkasi, mengukur, memantau dan mengendalikan risiko yang sudah pasti melekat dalam setiap aktivitas kegiatan bank.

Bila mengacu kepada UU Perbankan, terdapat tujuan mulia yang diemban setiap pelaku usaha dalam industri perbankan yaitu untuk meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Akan tetapi, Bank adalah sebuah badan usaha yang juga mempunyai tujuan untuk memberikan nilai tambah dan meningkatkan kekayaan pemegang saham (profit oriented). Setiap investor tentu memiliki pilihan kemana mereka akan menempatkan dananya sebagai investasi, oleh karena itu, dalam kegiatan usaha bank selalu digunakan iindicator/ukuran yang menggambarkan sejauh mana kinerja bank selama ini. Indikator tersebut antara lain adalah Return on Asset (ROA), Return on Equity (ROE), Pertumbuhan Volume Usaha dan sebagainya. Akan tetapi beberapa rasio tersebut belum sepenuhnya mempertimbangkan risiko yang dihadapi atas produk atau aktivitas bank, khususnya untuk masa yang akan datang. Sebagai contoh, laba bersih pada perkiraan laba rugi, sudah memperhitungkan cadangan piutang macet, namun belum memperhitungkan biaya risiko atau modal yang diperlukan untuk melakukan aktivitas bank.

Lalu bagaimana caranya Bank dapat meningkatkan nilai tambah? Apa yang harus dilakukan khususnya dalam era persaingan yang sangat terbuka dan sengit seperti dewasa ini?

Saya mengamati setidaknya ada beberapa langkah-langkah yang harus dilakukan bank secara konsisten dan penuh perhitungan matang, diantaranya:
  1. Peningkatan inovasi produk dan jasa bank, misalnya fitur delivery channel berbasis tekonologi informasi dan paperless.
  2. Peningkatan barisan Pemasaran yang agresf untuk meningkatkan marketshare dan mempertahankan pangsa pasar yang sudah ada, meningkatkan cross selling secara horizontal antar unit di bank ataupun secara vertical dengan meningkatkan penetrasi dari pasar yang sudah dimiliki.
  3. Terdapatnya kebijakan, pedoman, dan prosedur yang mumpuni dan sesuai dengan karakteristik usaha bank masing-masing, termasuk system untuk memantau bagaimana kebijakan dapat dikomunikasikan dengan baik, apakah kebijakan sudah berjalan sesuai yang diharapkan dan mekanisme untuk menyesuaikan kebijakan apabila diperlukan.
  4.  Pelaksanaan kepatuhan terhadap ketentuan regulator.
  5. Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) yang andal dan bersaing dalam memastikan kecukupan kuantitas dan kecakapan kualitas SDM yang dimiliki serta pengembangan SDM antara lain melalui: sistem jenjang karier yang jelas, tingkat remunerasi yang bersaing, lingkungan dan budaya kerja yang sehat dan meyenangkan, serta program reward dan punishment yang objektif.
  6. Memiliki infrastruktur yang lengkap termasuk Sistem Informasi Manajemen yang memadai.  

Lalu dimana peran manajemen risiko? Tentunya kita tidak dapat memungkiri bahwa sesungguhnya manajemen risiko merupakan bagian dari strategi keseluruhan bank dalam mencapai tujuan bank. Atau bila saya singkat dari 6 point diatas, terdapat 3 point inti yang harus diupayakan oleh Bank, yaitu:
  1. Pertumbuhan bisnis (pangsa pasar).
  2. Peningkatan efisiensi operasional perbankan, dengan;
  3. Implementasi Risk Management yang berorientasi bisnis.

 Sebagai contoh:

Agar volume kredit lebih cepat tumbuh maka proses kredit harus dipercepat (alasan persaingan dan efisiensi waktu) atau standar prudential permberian kredit dilonggarkan (toleransi menjadi lebih lebar) sehingga hal ini cenderung meningkatkan risiko kredit. Apabila jumlah analis kredit ditambah maka, biaya proses pemberian kredit menjadi lebih mahal dan efisiensi menurun. Sedangkan sebaliknya, apabila bank terlalu prudent dalam proses kredit maka risiko kredit dapat terjaga, namun proses kredit cenderung menjadi lebih lama dan nasabah dapat pindah ke bank lain sehingga target pertumbuhan bisnis terganggu. Mana lebih dahulu ayam atau telur?? Hehehe.

Maka, untuk mencapai tujuan usaha, bank harus dapat menemukan keseimbangan yang optimal antara bisnis, operasional dan manajemen risiko. Singkatnya bank perlu memiliki unit bisnis yang  berorientasi risiko dan unit risiko yang berorientasi bisnis. Pengelolaan risiko penting agar bank tidak terperangkap pada berbagai bisnis yang secara teoritis atau secara historis dapat memberikan keuntungan atau marjin yang tinggi, namun risiko terkait juga tinggi. Bank seringkali tidak menyadarai bahwa keuntungan besar yang diperoleh dimasa lampau memiliki risiko tinggi, namun secara kebetulan saja kondisi yang terjadi di pasar sesuai dengan yang diharapkan bank sehingga risiko tersebut tidak menjadi kenyataan.

Sebagai penutup, saya analogikan bahwa antara bisnis dan menajemen risiko sama halnya seperti anda sedang berkendara untuk mencapai tujuan kesuatu tempat. Bisnis seperti GAS, dan Manajemen Risiko seperti REM. Tentu, jika anda lebih banyak nge-rem dan gas sedikit-sedikit saja maka waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tempat tujuan tersebut akan lama. Sebaliknya, anda bisa tancap gas sekencang-kencangnya dan jarang nge-rem agar lebih cepat sampai ke tujuan, namun hal tersebut berarti anda harus siap menerima konsekuensi jika ternyata terdapat hal-hal yang tidak anda prediksikan sebelumnya terjadi, dan dapat memberikan dampak merugikan atau bahkan membuat anda tidak pernah sampai ke tempat tujuan. Anda harus bisa menyesuaikan antara gas dan rem, kapan harus nge-gas, (seberapa kencang) dan kapan harus nge-rem.

Pada postingan selanjutnya, saya akan menguraikan tentang Risiko dan Jenis-Jenis Risiko. Ditunggu ya…

Semoga bermanfaat
Share:

0 comments:

Post a Comment

My Linkedin

Anda Pengunjung Ke

Popular Posts

Search This Blog