Standing on the shoulders of giants

Feb 17, 2020

Nasib Jaminan Fidusia Pasca Putusan MK pada Perkara 18/PUU-XVII/2019

Salam sejahtera pembaca warung, ini merupakan postingan perdana saya di tahun 2020 setelah setahun lebih absen menelantarkan blog ini.

Perhatian saya tertuju kepada berita yang belakangan ini ramai diperbincangkan dikalangan teman-teman Bankers ataupun perusahaan pembiayaan. Yaitu, pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan dengan nomor perkara 18/PUU-XVII/2019, Pemohon Aprilliani Dewi (Pemohon I) dan Suri Agung Prabowo (Pemohon II). Objek permohonan dalam perkara tersebut adalah Pengujian materiil Pasal 15 ayat (1), ayat (2), ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU 42/1999). 

Perbincangan terus mendengung dikalangan praktisi jasa keuangan, setidaknya itu yang saya alami sendiri, mulai dari perbincangan santai di grup WA, obrolan sore sambil ngopi sampai seminar-seminar yang sengaja membahas peristiwa tersebut. 

kita mulai perlahan-lahan ya, mulai dari siapa Pemohon dan bagaimana awalnya pemohon sampai mengajukan Judicial Review kepada Mahkamah Konstitusi mengenai Objek Permohonan seperti tersebut diatas. 

= Kronologi =
  1. Aprilliani Dewi (Pemohon I) dan Suri Agung Prabowo (Pemohon II) adalah suami isteri, awalnya pada tanggal 18 November 2016 Pemohon I dan PT. Astra Sedaya Finance telah sepakat mengadakan Perjanjian Pembiayaan Multiguna dengan Nomor Registrasi 01100191001653145 dimana PT. Astra Sedaya Finance memberikan fasilitas pembiayaan kepada Pemohon I dalam bentuk penyediaan dana untuk pembelian 1 (satu) unit kendaraan Merk Toyota Type Alphard V Model 2.4 A/T Tahun 2004, warna abu-abu muda metalik, No. Rangka ANH100081947, No. Mesin 2AZ1570674.
  2. Sesuai perjanjian pembiayaan multiguna tersebut, maka Pemohon I memiliki kewajiban pembayaran hutang kepada PT. Astra Sedaya Finance sebesar Rp 222.696.000,-  yang akan dibayar secara angsuran selama 35 (tiga puluh lima) bulan, mulai dari 18 November 2016. 
  3. Pada tanggal 10 November 2017 wakil dari PT. Astra Sedaya Finance yang mengaku sebagai perwakilan PT. Astra Sedaya Finance dengan membawa surat kuasa yang ditandatangani pejabat dari PT. Astra Sedaya Finance mendatangi rumah Penggugat dengan maksud ingin mengambil kendaraan Merk Toyota Type Alphard V Model 2.4 A/T Tahun 2004 milik Pemohon I dengan dalih Pemohon I telah wanprestasi.
  4. Keberatan dengan tindakan PT. Astra Sedaya Finance, maka Pemohon I mengajukan pemohonan melalui peradilan perdata, in casu Perkara Perdata Nomor 345/PDT.G/2018/PN.Jkt.Sel dalam rangka mengkoreksi tindakan PT. Astra Sedaya Finance. 
  5. Selain itu, Pemohon I dan II mengajukan Judicial Review kepada Mahkamah Konstitusi dengan Petitum Dalam Provisi: Memohon Kepada Mahkamah Konstitusi agar dapat menjatuhkan Putusan Sela, untuk menyatakan bahwa penarikan kendaraan yang berdasarkan pasal 15 ayat (1), (2) dan (3) untuk sementara tidak berlaku, sampai Mahkamah Konstitusi memutus permohonan pengujian materiil ini
Kemudian MK, melalui amar putusan (Nomor Perkara: 18/PUU-XVII/2019), Mengadili: 
  1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian; 
  2. Menyatakan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”;
  3. Menyatakan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “cidera janji” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji”
  4. Menyatakan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”;
= BAGAIMANA DAMPAK DAN IMPLIKASI DARI KEPUTUSAN MK TERSEBUT? =

Apakah putusan MK tersebut membawa dampak yang serius pada binsis perbankan, perusahaan pembiayaan atau kreditur selaku penerima jaminan Fidusia bahkan berdampak pada ekonomi secara Makro? 

Jika kita cermati, setelah adanya Putusan MK Nomor Perkara 18/PUU-XVII/2019, faktanya: 
  • UU Fidusia masih berlaku. 
  • Pasal 15 ayat (2) dan (3) UU Fidusia tidak ada perubahan.
  • Kekuatan Eksekutorial dan Parate Eksekusi masih seperti sediakala.
  • MK memberikan tafsir atas frasa "Kekuatan Eksekutorial" dan " Cidera Janji"
  • Pasal lain tidak berubah baik isi maupun penafsirannya.

Ada baiknya kita ulas sedikit mengenai apa itu Fidusia: 
  • Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda. Dari pengertian tersebut dalam Jaminan Fidusia melekat kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
  • Fidusia merupakan jaminan yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada pemegangnya, yang artinya penyerahan benda jaminan secara constitutum posseisorium, di mana penyerahan kepada penerima fidusia (kreditur) adalah hak milik atas benda atas dasar kepercayaan, sedangkan fisik benda yang menjadi objek jaminan tetap ada pada pemberi fidusia (debitur).
  • Fidusia merupakan perjanjian yang bersifat accesoir dengan perjanjian utamanya yang artinya bahwa perjanjian pokoknya adalah berupa perjanjian pinjam-meminjam atau perjanjian lain yang dapat dinilai dengan uang sepanjang yang menjadi objek perjanjian fidusia adalah benda bergerak, baik berwujud atau tidak berwujud maupun benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan.
  • Fidusia mengandung asas preferensi artinya kreditur penerima fidusia berkedudukan sebagai kreditur yang diutamakan dari kreditur lainnya (asas droit de preference) di samping itu juga melekat asas bahwa Jaminan Fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada (asas droit de suite atau zaaksgevolg) serta asas bahwa Jaminan Fidusia adalah asesoritas yang artinya Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan.
  • Fidusia mengandung syarat publisitas yang bersifat mutlak atau absolut yang artinya bahwa Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan mengikat dan bersifat eksekutorial setelah didaftarkannya perjanjian fidusia tersebut dan telah dikeluarkan sertifikat Jaminan Fidusia yang di dalamnya tercantum irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Dengan demikian, terhadap sertifikat jaminan fidusia melekat kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Sementara itu tafsir atas frasa "Kekuatan Eksekutorial" dan " Cidera Janji" adalah:


Penjelasan tentang Kekuatan Eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam UU Fidusia langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui pengadilan dan bersifat final serta mengikat para pihak. 


Nah, jika kita jeli mencermati putusan tersebut, kata kuncinya adalah "Keadaan Wanprestasi" dan teknis eksekusi jaminan fidusia. Sementara itu, dalam pasal 30 UU Fidusia ditegaskan bahwa "Pemberi Fidusia wajib menyerahkan Benda yang menjadi Objek Jaminan Fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia. Dalam Hal Pemberi Fidusia tidak menyerahkan Benda yang menjadi Objek Jaminan Fidusia pada waktu eksekusi dilaksanakan, Penerima Fidusia berhak mengambil Benda yagn menjadi Objek Jaminan Fidusia dan apabila perlu dapat meminta bantuan pihak yang berwenang". 

Sehingga semakin terang benderang bahwa keyword dalam rangka memitigasi risiko hukum dalam Pelaksanaan Eksekusi jaminan Fidusia pasca Putusan MK ini adalah sebagai berikut: 
  1. Keadaan Wanprestasi / Cidera Janji
  2. Penyerahan Objek Fidusia dari Pemberi Fidusia (Debitur) kepada Penerima Fidusia (Kreditur) dalam rangka pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia. 
Maka sedikitnya dapat saya simpulkan 3 (tiga) hal dari putusan MK tersebut: 
  • Putusan MK tersebut mengisi kekosongan hukum, sebagai contoh jika Kreditur dan Debitur tidak menyepakati "keadaan Wanprestasi" maka apakah bisa kreditur menuding bahwa Debitur tersebut sudah melakukan wanprestasi/Cidera Janji? Oleh karena itu, Apabila belum diatur mengenai keadaan tentang cidera janji, maka keputusan tentang adanya cidera janji harus diperoleh melalui upaya hukum untuk menentukan telah terjadinya Cidera Janji.
  • Putusan MK tersebut menjamin kepastian hukum bagi Penerima Fidusia (Kreditur) dalam hal Pemberi Fidusia (debitur) tidak menyerahkan Objek Fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi. 
  • Putusan MK tersebut memberikan rasa adil dan perlindungan kepada Pemberi Fidusia dan Penerima Fidusia. 
Namun disisi lain, dampak dari Putusan ini dalam praktek sehari-hari dilapangan menambah eksposur risiko bagi kreditur, dan kemungkinan berdampak pada industri keuangan secara makro, misalnya: 
  • Ada kemungkinan tambahan eksposur risiko yang mengakibatkan proses eksekusi menjadi lebih lama dan membutuhkan biaya dan waktu tambahan (dalam hal penyerahan Objek Fidusia secara tidak keberatan dari Debitur tidak terpenuhi) karena keistimewaan sertifikat Fidusia yang memiliki kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yagn telah memperoleh kekuatan hukum tetap menjadi tidak otomatis berlaku sehingga mitigasi risiko menggunakan jaminan fidusia menjadi tidak menarik. 
  • Adanya kemungkinan peningkatan NPL / NPF pada sektor kredit dengan Jaminan Fidusia. 
  • Adanya Kesulitan untuk membuktikan bahwa debitur tidak keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia. 
  • Adanya kemungkinan Lembaga Jasa Keuangan tidak menerapkan kemudahan-kemudahan dalam hal ekspansi fasilitas pembiayaan dengan jaminan Fidusia, misalnya kemudahan seperti: DP Ringan, Suku bunga rendah, dsb. 
  • Adanya kemungkinan tambahan peningkatan bunga yang harus ditanggung debitur akibat tambahan eskposur Risiko dan syarat-syarat dalam rangka mitigasi risiko kepada calon debitur yang lebih ketat, sehingga secara tidak langsung berdampak pada inklusi keuangan pada sektor pembiayaan dengan jaminan Fidusia. 
  • Secara Makro, adanya kemungkinan kepercayaan Investor terhadap pasar Lembaga Jasa Keuangan bisa saja berkurang. 
  • Adanya kemungkinan penurunan peringkat Indonesia dalam hal Easy to Doing Business (EoDB) dimata dunia/global 

= SOLUSI BEST PRACTICE BAGI LEMBAGA JASA KEUANGAN =

Kita tahu bahwa dalam praktek Lembaga Jasa Keuangan, sepanjang yang saya tahu bagi Bank dan Perusahaan Pembiayaan, peranan jaminan fidusia (agunan dengan barang bergerak) cukup tinggi dalam melakukan pentetrasi pasar ataupun peningkatan portofolio produk pembiayaan. Faktanya, Jaminan Fidusia tidak hanya didominasi oleh kredit konsumtif, tetapi tidak jarang juga mendukung kredit produktif dan UMKM dalam hal debitur dari bank/Perusahaan Pembiayaan tidak memiliki agunan berupa aset tetap yang dapat diikat dengan Hak Tanggungan. 

Secara Best Practice, solusi yang dapat dilakukan oleh Lembaga Jasa Keuangan (Bank / IKNB)  menurut hemat saya adalah sebagai berikut: 
  • Melakukan kaji ulang (review) atas perjanjian kredit yang telah ada guna memastikan bahwa telah diatur mengenai "Keadaan Wanprestasi", jika sudah ada, apakah sudah sesuai dengan azas keadilan dan itikad baik masing-masing Pihak dalam Perjanjian Kredit tersebut. 
  • Jika belum terdapat pasal atau ketentuan tentang "Keadaan Wanprestasi" maka kesepakatan mengenai hal tersebut (wanprestasi / cidera Janji) harus diatur dengan detail sehingga tidak menimbulkan persepsi lain pada saat pelaksanaan eksekusi dan pembuktian. Perjanjian kredit dapat dilakukan perubahan berdasarkan kesepakatan para Pihak dalam perjanjian tersebut dan sepanjang tidak melanggar syarat sahnya suatu perjanjian. 
  • Lembaga Jasa Keuangan meminta Debitur untuk menandatangani Berita Acara eksekusi Agunan / penyerahan agunan untuk membuktikan bahwa Debitur secara sukarela menyerahkan agunan. 
  • Khusus bagi Debitur yang tidak menyerahkan objek Fidusia secara sukarela, maka Lembaga Jasa Keuangan dapat menyatakan perbuatan wanprestasi melalui upaya pengadilan sebelum dilakukan eksekusi. 
  • Tambahan skema mitigasi risiko selain Jaminan Fidusia. 
  • Melakukan sosialisasi secara berkala kepada Team Collection termasuk kepada perusahaan pihak ketiga (alih daya Penagihan) dan menyempurnakan tata cara penagihan di lapangan.
  • Melakukan edukasi kepada Debitur dan atau calon debitur mengenai Jaminan Fidusia.
  • Lembaga Jasa Keuangan bersama dengan Asosiasi Industri mendorong OJK untuk menyiapkan/menyediakan regulasi sebagai antisipatif  risiko atas pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia kedepannya dan melakukan kampanye yang tepat kepada Publik. 
  • Lembaga Jasa Keuangan  bersama dengan Asosiasi berkonsolidasi dengan Aparat Penegak Hukum dan Mahkamah Agung terkait prosedur permohonan fiat eksekusi dengan mekanisme yang lebih sederhana dan cepat, sesuai dengan karakteristik Objek Jaminan Fidusia sebagai barang bergerak.
Sekian tulisan saya kali ini, semoga bermanfaat. 

Referensi: 
- Risalah Sidang MK Nomor Perkara: 18/PUU-XVII/2019, Tgl. 06 Januari 2020
- UU Fidusia

========================
Disclaimer / Sanggahan





Share:

My Linkedin

Anda Pengunjung Ke

Popular Posts

Search This Blog